Dakwaan Jaksa Penuntut Umum di dalam perkara dugaan pembunuhan yang menimpa Antasari, mantan Ketua KPK, tentulah harus dibuktikan kebenarannya di depan persidangan. Jika tidak dibuktikan dakwaaan tersebut hanyalah menjadi tuduhan yang tanpa dasar. Tanpa pembuktian hal itu juga berarti status seseorang yang didakwakan tidak dapat dikatakan bersalah maupun tidak bersalah.
Begitu pentingnya pembuktian dakwaan JPU menimbulkan banyak pertanyaan bagi orang awam, seperti : Apa saja yang dapat menjadi alat bukti ? Bagaimana cara membuktikan perkara tersebut ? Adakah pembatasan dalam pembuktian di depan persidangan pidana ? Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan doktrin hukum pidana menyediakan jawabannya.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Sedangkan penjelasan Pasal 184 KUHAP dijelaskan ;
“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup di dukung satu alat bukti yang sah”.
Di dalam hukum pidana terdapat acara pemeriksaan biasa, cepat, singkat dan lalu lintas. Dengan demikian, selain pada pemeriksaan cepat, untuk mendukung keyakinan hakim diperlukan alat bukti lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Logika hukum ini dianut dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan :
” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pada akhirnya, untuk membuktikan dakwaan JPU, hakim terikat pada alat bukti yang telah ditentukan oleh pasal 184 KUHAP di atas dan pada keyakinannya. Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana pada pemeriksaan di luar acara cepat dengan ‘modal’ dua alat bukti yang sah menurut keyakinannya. Pemeriksaan perkara Antasari yang telah disinggung di atas menggunakan acara pemeriksaan biasa dengan didasari alasan bahwa proses pembuktiannya tidak sederhana. Jelaslah, hakim memerlukan dua alat bukti yang sah dan keyakinan dalam menjerat Antasari yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pelaku dalam pembunuhan berencana terhadap korban Nasrudin Zulkarnaen.
Putusan hakim tingkat pertama ini kemudian diuji oleh pengadilan tingkat kedua dan Mahkamah Agung melalui banding yang diajukan oleh Antasari. Hasilnya, putusan hakim tingkat pertama dikuatkan, tidak dibatalkan. Dengan demikian, secara logika hukum, hakim pengadilan tingkat pertama tetap teguh berpegang dengan modal dua alat bukti yang terungkap di dalam persidangan dan keyakinannya bahwa Antasari bersalah. Karena tidaklah mungkin, hakim Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang dianggap lebih mumpuni meloloskan putusan yang tidak didasari oleh dua alat bukti dan keyakinan hakim.
Sampai di sini, tampaknya seluruh prosedur pembuktian pidana telah sahih dan teruji. Tidak ada masalah. Hakim PN, PT dan MA kompak menjaga keutuhan putusannya. Masalah barulah muncul saat Komisi Yudisial (KY) menilai telah terdapat pengabaian alat bukti di depan persidangan. Bukti tersebut adalah pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik Abdul Mun’in Idris. Bukti lain adalah baju korban (almarhum Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran) yang tak dihadirkan di persidangan. Padahal, baju korban adalah bukti yang sangat penting.
Pengabaian bukti itu, menurut KY, merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, khususnya prinsip profesionalitas serta kehati-hatian. Temuan KY tersebut sejalan dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda yang diajukan Hakim Agung Suryajaya dalam putusan kasasi Antasari. Suryajaya menilai adanya kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, yakni pengesampingan keterangan ahli.
Setidaknya terdapat dua alasan yang mengabaikan alat bukti untuk dijadikan pertimbangan di dalam putusannya menurut Pasal 183 KUHAP di atas, yaitu :
· Alat bukti yang diajukan kepada hakim tidak sah;
· Alat bukti yang diajukan kepada hakim tidak diyakininya
Menyangkut sah atau tidaknya alat bukti yang diajukan di depan persidangan, terutama pada keterangan saksi ahli, tentu kita harus merujuk pada ketentuan KUHAP dan yurisprudensi. Penilaian tentang keterangan saksi di dalam pasal 180 KUHAP haruslah diatur dengan luas lingkup sebagai berikut :
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
Menurut pendapat ahli hukum Martiman Prodjohamidjojo, disebut wettelijk karena disesuaikan dengan alat-alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang. Negatief, karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk membuat hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.
Namun, tentang keyakinan hakim, hal tersebut bersifat lebih subyektif. Disebut subyektif sebab tidak ada acuan yang tegas mengenai hal ini di dalam KUHAP. Hal tersebut dapat dimengerti sebab KUHAP menganut asas pembuktian negatif (negatief wettelijk stelsel). Negatief wettelijk stelsel secara sumir diartikan bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UU”
Alasan apa yang dipakai hakim untuk mengesampingkan alat bukti yang esenssial tersebut di atas ? Tidak ada yang mengetahuinya selain hakim yang memutus perkara dan Tuhan. Sebab jalan berpikir hakim di dalam putusannya sama sekali tidak terargumentasikan. Inilah kiranya teka-teki yang harus dijawab oleh KY dengan melakukan pemanggilan para pihak terkait, khususnya hakim si pembuat putusan teka teki ini.
Sebagai penutup, menurut Hakim Agung Suryajaya, hakim dapat mengesampingkan keterangan ahli sepanjang keterangan itu tidak relevan. Sebaliknya, keterangan tersebut menjadi imperatif untuk dipertimbangkan jika keterangan ahli itu bersifat menentukan seperti keterangan ahli pemeriksaan sidik jari, forensik atau balistik. Menurutnya, keterangan mereka sangat urgen untuk menentukan siapa pelaku sesungguhnya.
Tak heran, kita semua pantas bertanya, ada apa di balik putusan misterius ini ?
Sumber Tulisan :
Martiman Projohamijoyo.1989.Pembahasan hukum acara pidana dalam teori dan praktek. Jakarta : Pradnya Paramita
KUHAP
Andi Hamzah.2001.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta : Sinar Grafika
M. Yahya Harahap.2003. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika