Debitur berjanji akan mengembalikan kredit yang dipinjamnya dalam mata uang asing tepat pada waktu berakhirnya kontrak. Di dalam kontrak, disepakati setiap bulannya debitur akan mengangsur bunga beserta pokoknya. Kedit tersebut sedianya dipakai untuk membuka lahan kelapa sawit dan pengembangan pabrik pengolahan produk turunannya. Namun, krisis global menyebabkan permintaan kelapa sawit anjlok dan hal ini berimbas pada harga Crude Palm Oil, sebagai produk turunan minyak sawit, turut meluncur bebas di pasaran internasional. Hal ini memaksanya untuk tidak dapat mengembalikan pokok beserta bunganya tepat.
Begitu kreditur membawa kasus tersebut ke muka hakim, debitur tentu akan mengajukan bantahannya dengan pranata force majeure (keadaan memaksa) sebagaimana dimaksud di dalam pasal 1244 KUH Perdata dan pasal 1245 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
Pasal 1244 KUH Perdata
Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjiannya itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tak dapat dipertanggjungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya
Pasal 1245 KUH Perdata
Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berhutang berhalangan untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Namun, selain pranata force majeure yang telah disinggung di atas, dalam ‘menangkal’ peristiwa tak terduga dalam pelaksanaan sebuah kontrak bisnis juga dikenal pranata hukum hardship. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat keduanya. Diharapkan para pihak dapat mempertimbangkan pentingnya klausula hardship dalam klausula kontrak bisnis jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Apakah Hardship itu ?
Hardship sebagai sebuah pranata hukum sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam sistem Common Law. Di dalam publikasi International Chamber of Commerce (ICC) [1] diberikan bentuk model klausula hardship di dalam kontrak bisnis dan juga perbedaannya dengan pranata force majeure yang lebih dahulu dikenal di dalam sistem hukum kita [2].
ICC menyebutkan bahwa :
Hardship may be invoked by one of the parties if the occurrence of events not contemplated by the parties fundamentally alters the equilibrium of the contract thereby placing an excessive burden on the party invoking the clause, in the performance of his contractual obligations
Dengan perkataan lain, hardship akan diterapkan jika terjadi peristiwa tidak diatur oleh para pihak yang mengakibatkan mengubah keseimbangan secara mendasar di dalam kontrak sehingga menempatkan beban yang berlebihan pada salah satu pihak dalam pelaksanaan kewajiban kontraktualnya.
Tampaknya, UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts 2004 (“Unidroit Principles”) [3] memiliki pemahaman yang sama dengan ICC tentang pengertian hardship tersebut di atas . Pasal 6.2.2 Unidroit Principles[4] menegaskan prinsip berikut ini :
There is Hardship where the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium of the contract either because the cost of a party’s performance has increased or because the value of the performance a party receives has diminished, and
(a) the events occur or become known to the disadvantaged party after the conclusion of the contract;
(b) the events could not reasonably have been taken into account by the disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract;
(c) the events are beyond the control of the disadvantaged party; and
(d) the risk of the events was not assumed by the disadvantaged party.
Unidroit Principles tetap menekankan pada ketidakseimbangan kedudukan para pihak secara mendasar sebagai tolak ukur dapat diterapkannya klausula hardship. Lebih jauh, keadaan hardship terpenuhi jika terdapat :
a. Meningkatnya biaya pelaksanaan yang harus ditanggung salah satu pihak;
b. Berkurangnya nilai pelaksanaan kontrak yang seharusnya diterima oleh salah saut pihak;
c. Peristiwa-peristiwa itu terjadi atau diketahui terjadi oleh pihak yang dirugikan setelah berakhirnya kontrak;
d. Peristiwa-peristiwa itu tidak mungkin dapat diperhitungkan oleh pihak yang dirugikan pada saat berakhirnya kontrak;
e. Peristiwa-peristiwa itu berada di luar kendali dari pihak yang dirugikan, dan;
f. Risiko yang muncul tidak diperkirakan akan terjadi oleh pihak yang dirugikan.
Sekilas Mengenai Force Majeure
Selain diatur di dalam KUH Perdata di atas, pengertian force majeure tidak luput dari perhatian para ahli hukum. R. Subekti berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah keadaan di luar kekuasaan debitur yang tidak dapat diketahui pada waktu kontrak itu dibuat. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpha sehingga orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi[5] . Kejadian tak terduga tersebut, menurut Sri Soedewi M. Sofwan, dapat dijadikan dasar keadaan memaksa jika orang yang berpikiran sehat tidak dapat memperhitungkannya[6] .
Terdapat dua macam force majeure, yaitu [7] :
1. Force majeure absolut (mutlak) yang berlaku pada saat keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan kontrak. Misalnya, obyek kontrak musnah karena terbakar;
2. Force majeure relatif (mutlak) yang berlaku dalam hal kontrak masih dapat dilaksanakan, namun dengan berbagai pengorbanan yang terlalu besar dari pihak debitur. Misalnya, harga obyek kontrak melonjak terlalu tinggi;
Sedangkan pengertian yang diberikan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tidak jauh berbeda memberikan pengertian tentang force majeure dalam KUH Perdata maupun pendapat para ahli. Keadaan memaksa dilihat sebagai keadaan yang diakibatkan malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang berprestasi (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983). Force majeure telah menutup kemungkinan-kemungkinan atau alternatif lain bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi kontrak (Putusan MA RI No. 24 K/Sip/1958)
Rezim hukum force majeure dapat juga dilihat di dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang Diperbaharui-NBW) Belanda tahun 1992 [8] . Walau tidak menyebutkan dengan tegas pengertian dan istilah force majeure, namun NBW berpendirian bahwa setiap kelalaian pemenuhan kewajiban kontraktual dari debitur akan ditanggung olehnya, kecuali hal tersebut bukan kesalahannya. Dengan demikian, sesuatu yang berada di luar kesalahan debitur bukan berada di bawah tanggung jawabnya [9] .
Force Majeure dan Hardship : Sebagai Perbandingan
Persamaan yang paling jelas antara force majeure dan hardship, pertama, mengenai keberlakuannya, dimana keduanya baru dapat diterapkan sebatas untuk peristiwa-persitiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya terjadi dan persitiwa tersebut tidak berada dalam kendali pihak yang dirugikan. Oleh karenanya menjadi wajar, pihak tersebut tidak mungkin melaksanakan prestasinya. Tidak ada hakim yang akan menghukum seseorang untuk sesuatu yang tidak mungkin untuk dilaksanakan [10] .
Kedua, baik force majeure maupun hardship hanya dapat diterapkan pada keadaan yang tidak terduga pada waktu kontrak itu dibuat [11]. Dengan perkataan lain, sebelum kontrak disepakati, para pihak tidak memiliki dugaan bahwa akan terjadi sesuatu peristiwa. Misalnya, pada sebelum kontrak kredit disepakati, debitur tidak menduga bahwa akan terjadi krisis moneter yang mengakibatkan berubahnya nilai pinjamannya secara drastis sebagai kelanjutan dari kenaikan nilai kurs mata uang asing.
Selain adanya persamaan, tentu terdapat perbedaan yang mencolok. Pertama, seperti yang telah dijelaskan di atas, pengertian mengenai keduanya jelas berbeda. Hardship lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar di antara para pihak, sedangkan force Majeure memiliki pengertian nampak lebih ‘umum’ yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak.
Kedua, perbedaan pengertian dan kondisi dapat diterapkannya hardship atau force majeure menyebabkan adanya perbedaan mengenai akibat hukum terhadap sebuah kontrak bisnis. Berdasarkan doktrin para ahli hukum, pada force majeure absolut menyebabkan pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan seketika itu kontrak putus. Sebaliknya, pada force majeure relatif, pemenuhan prestasi menjadi tertunda dan kontrak tidak putus [12] .
Akibat hukum hardship terhadap kontrak terutama menyangkut pada kesempatan pihak yang dirugikan untuk mengajukan negosiasi ulang (renegosiasi). Hal ini wajar dimungkinkan, sebab hardship membuat kedudukan para pihak tidak lagi seimbang dikarenakan adanya peristiwa tak terduga yang mengubah kedudukan para pihak secara mendasar.
Bahkan Unidroit Principles 2004 secara tegas di dalam komentarnya membedakan hardship dan force majeure [13] . Dimana, pada hardship , belum terjadi wanprestasi (non performance), namun pada saat force majeure terjadi telah terjadi wanprestasi.
Penutup
Pembedaan mencolok hardship dan force majeure didasarkan pada terbukanya kemungkinan renegosiasi kontrak ataukah tidak jika terjadi peristiwa tak terduga. Pada force majeure, renegosiasi telah tertutup semenjak disepakatinya kontrak, kecuali kedua belah pihak sepakat untuk melakukan perubahan klausula kontrak. Sebaliknya, hardship membuka peluang itu. Untuk itu, klausula hardship maupun force majeure menjadi teramat penting untuk diakomodasi dalam kontrak guna menghadapi peristiwa yang tak terduga yang mengancam keberlangsungan kontrak. Walau tidak dikenal di dalam rezim hukum perdata kita, namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak (vide pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata) bukan mustahil klausula hardship tetap mengikat para pihak di dalam kontrak.
Referensi :
[1] ICC (International Chamber of Commerce) sebuah organisasi bisnis yang bersifat global yang memperjuangkan ekonomi global sebagai kekuatan bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran. Kegiatan ICC mencakup resolusi untuk arbitrase, sengketa untuk kasus perdagangan terbuka dan sistem ekonomi pasar, bisnis swa-regulasi, memerangi korupsi atau memberantas tindak pidana komersial. Lihat di dalam ICC menyusun kebijakan http://www.iccwbo.org
[2] Lihat di dalam publikasi ICC dalam ICC (ed.). 1985. Force Majeure and Hardship. Paris (ICC Publ No. 421).
[3] Unidroit Principles merupakan salah satu bentuk upaya harmonisasi hukum/unifikasi hukum secara internasional dalam bentuk asas-asas hukum kontrak. Walaupun memiliki karakteristik sebagai soft law, penataan asas-asas hukum semacam ini dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Lihat Bayu Seto Hardjowahono. 2006. Kontrak-kontrak Bisnis Transnasional & Unidroit Principles, Sebuah Pembuka Wawasan. Bandung : Universitas Katolik Parahyangan, tidak dipublikasikan.
[4] Hardship diatur di dalam Section 2 pada bagian mengenai pelaksanaan kontrak (performance). Lihat UNIDROIT, International Institute for the Unification of Private Law. 2004. UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts 2004. Roma
[5] R. Subekti. 1990. Hukum Kontrak. Jakarta : PT Intermasa
[6] Sri Soedewi M. Sofwan. 1980. Hukum Perutangan (Bagian A). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
[7] Johari Santoso dan Ahmad Ali. 1989. Hukum Kontrak Indonesia. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia
[8] Pada tahun 1992 KUH Perdata Belanda mengalami perubahan besar-besaran. Terdapat sejumlah pembeda dari kodifikasi sebelumnya, antara lain perbedaan antara hukum perdata dan hukum komersial yang dihapus dalam mendukung lingkup yang lebih luas hukum privat. New Burgelijke Wetbook sekarang mencakup semua aspek regulasi komersial, seperti hukum perusahaan, hukum asuransi, hukum transportasi, hukum konsumen dan hukum perburuhan. Kitab baru tahun 1992 ini lebih teknis, sistematis dan abstrak dari pendahulunya. Lihat Martin Hesselink. 2006. The Harmonisation of European Contract Law. United Kingdom : Hart Publishing.
[9] Selengkapnya, Article 6:74 BW (non-performance) menyebutkan bahwa :
1. Every failure in the performance of an obligation obliges the debtor to repair the damage which the creditor suffers there from, unless the failure cannot be imputed to the debtor.
2. To the extent that performance is not already permanently impossible, section 1 only applies subject to the provisions of § 2, respecting the default of the debtor.
Article 6:75 BW (impossibility)
A failure in the performance cannot be imputed to the debtor if it does not result from his fault and if he cannot be held accountable for it by law, juridical act or common opinion either.
[10] Prof Hijma menyebutnya sebagai : No judge will sentence a party to accomplish what is impossible. Lihat di artikel Hijma, Jaap. 2010. Force Majeure According To The Civil Code Of The Netherlands. Jakarta : PT Gramedia di dalam Rahmat Soemadipradja. 2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa. Jakarta : PT Gramedia
[11] Lihat Bayu Seto Hardjowahono, op cit
[12] Ahli hukum yang menganut adanya pembedaan force majeur absolut maupun relatif misalnya Sri Soedewi M. Sofwan, Johari Santoso dan Ahmad Ali
[13] UNIDROIT, International Institute for the Unification of Private Law, op cit