
Karya tulis ini adalah modifikasi dari skripsi Penulis yang dikerjakan di tahun 2007 silam dan telah berhasil dipertahankan dalam sidang Penulisan Hukum Universitas Katolik Parahyangan
I. Apa yang akan Dibahas ?
Di dalam menjalankan kegiatan usahanya produsen atau pihak yang memproduksi barang atau jasa (produk) perlu membuat suatu penghubung antara keinginan dan kebutuhan pembeli untuk dapat memiliki produk yang dibutuhkannya Produsen haruslah menyalurkan produk tersebut sampai ke lokasi yang diingankan atau terdekat dengan pembeli. Itulah gambaran kegiatan distribusi secara singkat. Kegiatan distribusi adalah suatu penghubung antara kebutuhan atau keinginan pembeli dengan produk yang dihasilkan produsen.
Untuk dapat melakukan kegiatan distribusi maka yang perlu dipikirkan lebih lanjut, antara lain, bagaimana sistem distribusi yang akan dipilihnya, tingkat saluran distribusi apa yang akan dipakai dan harus diputuskan intensitas distribusi yang akan dijalankan. Kesemuanya itu tidak dapat dipisahkan oleh produsen dalam kegiatan pemasarannya. Salah satu perkembangan saluran pemasaran dewasa ini adalah sistem pemasaran vertikal (vertical marketing system), disingkat VMS. Secara singkat VMS terdiri atas produsen, pedagang(-pedagang) besar dan (para) pengecer yang bertindak dengan sistem yang menyatu (integrated systems). Kesemuanya terdapat terdapat koordinasi yang dilakukan oleh pemimpin saluran. Dengan perkataan lain, VMS selalu melibatkan pelaku usaha yang tidak berada dalam tingkatan yang sejajar dan antara anggota VMS telah terjadi dependensi yang sangat kuat
Sehingga tulisan ini pada akhirnya akan membahas apakah pola VMS menciderai hukum persaingan usaha berdasarkan UU NO. 5/1999 terutama ketentuan mengenai Resale Price Maintenance (RPM) dalam pasal 8 UU No. 5/1999
II Apa itu VMS ?
VMS terdiri atas produsen, pedagang(-pedagang) besar dan (para) pengecer yang bertindak dengan sistem yang menyatu (integrated systems) . Salah satu anggota saluran yang disebut pemimpin saluran memiliki anggota-anggota lainnya atau memberikan hak waralaba terhadapnya atau memiliki kekuatan yang begitu besar sehingga mereka semua dikontrol dengan erat. Pemimpin saluran tersebut dapat saja produsen, pedagang besar atau salah satu dari pengecer tersebut. Pemimpin saluran tersebut memiliki kontrol terhadap pelaku usaha lainnya dalam sistem ini .
Anggota saluran dalam sistem distribusi tidak langsung yang memasarkan barang akan saling bersaing satu sama lain untuk menguasai pasar. Jika tidak diikat dengan VMS, maka para anggota saluran akan melakukan tindakan yang saling mematikan anggota saluran yang lainnya. Walaupun memang mereka akan memasarkan barang dengan merek yang sama dan membeli barang pada produsen yang sama. Maka, disinilah VMS muncul, yaitu sebagai sarana untuk mengendalikan perilaku anggota saluran dan menghilangkan konflik yang terjadi apabila anggota-anggota yang independen mengejar tujuannya sendiri. VMS mencapai penghematan melalui ukuran, daya tawar, dan penghapusan layanan ganda . VMS juga telah menjadi cara distribusi dominan di pasar konsumen Amerika Serikat, yang melayani antara 70 sampai 80 persen dari pasar total.
III Kaitan antara RPM dan VMS
Koordinasi yang erat dan mengabaikan kemandirian anggota-anggota saluran dalam VMS menyebabkan pemimpin saluran atau pihak yang mendominasi dalam kebijakan di dalam sebuah VMS membuat strategi bisnis yang menciderai prinsip persaingan usaha yang sehat. Di satu sisi VMS telah membuat efektifitas dan efisiensi dalam perjalanannya, namun di satu sisi lain kta perlu ingat bahwa VMS memberikan dampak pada persaingan dagang antara pelaku bisnis baik antar anggota yang diikat oleh VMS maupun di luar sistem VMS. Strategi bisnis yang sering sekali dijalankan oleh pemimpin saluran adalah soal kebijakan harga. Pemimpin saluran dapat menentukan strategi kebijakan harga tertentu yang harus dijalankan oleh anggota-anggotanya. Salah satunya adalah kebijakan untuk mengadakan perjanjian RPM yang dilarang oleh UU NO. 5/1999 kita.
Penetapan Harga Jual Kembali atau RPM diatur dalam pasal 8 UU No. 5/1999. Penetapan harga jual kembali oleh pemasok kepada perantara dilarang sejauh mengarah kepada terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan ini melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pembeli atau pemasok barang yang menentukan harga minimum pada barang yang akan dijual kembali. Perjanjian inilah yang biasa disebut RPM RPM sendiri diikat oleh suatu perjanjian dan terjadi antara pelaku usaha yang tidak berada dalam tingkatan yang sama, misalnya antara produsen dan distributornya.
Contoh perjanjian RPM adalah produsen menetapkan pada harga berapa distributor boleh menjual kembali barang yang dibelinya itu. Distributor tidak boleh menjual atau memasok kembali barang yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan dengan produsen. Kemudian, produsen tersebut dapat berusaha untuk mempengaruhi tingkat harga yang ditetapkan dalam perjanjian dengan distributor pada tingkatan selanjutnya., misalnya distributor tingkat II, tingkat III, dst. Perjanjian ini seringkali memuat klausula yang eksplisit, yaitu penetapan harga jual kembali
Bagaimana jika perjanjian tersebut tidak secara eksplisit memuat klausula yang dilarang oleh pasal 8 UU No. 5/1999 ? Hal tersebut tetap dapat dikenakan ketentuan pasal ini jika terdapat ikatan (ekonomic ties). Ikatan ekonomis terjadi pada keadaan, misalnya pemberian diskon atau berbagai bonus yang dijanjikan oleh pemimpin saluran dalam VMS apabila menetapkan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan. sehingga, tanpa ada pilihan lain pelaku usaha terpaksa menerapkan RPM agar produknya memiliki daya saing. Kesimpulannya ikatan ekonomis seperti yang disebutkan di dalam contoh tersebut melanggar pasal 8 UU No. 5/1999, walaupun perjanjiannya tidak memuat klausula untuk menetapkan harga minimum.
Mengingat bahwa ketentuan pasal 8 UU No. 5/1999 ini hanya dilarang jika dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka pelarangan penentuan harga minimum ini harus bedasarkan adanya motivasi ekonomi di balik penetapan harga minimum. Jika penetapan harga minimum disebabkan karena keinginan pemasok untuk mengurangi kerugian di pihak sendiri ataupun di pihak pembeli, maka alasan tersebut tidak dapat diterima untuk membenarkan penetapan harga jual kembali. Sebaliknya, jika penetapan harga minimum disebabkan barang yang bersangkutan sangat diperlukan oleh pembeli dan pasokan barang tersebut harus dilindungi, maka pemasok harus dilindungi agar tidak sampai tersingkir dari pasar dan penetapan harga jual kembali dibolehkan.
Menurut Keith N. Hylton, RPM memiliki berbagai variasi dalam praktik penerapannya, yaitu :
a. Minimum Price Restraints in Multibrand Retailing
RPM dijatuhkan hanya oleh produsen yang memiliki pangsa pasar yang kecil dalam pasar yang bersangkutan. Akibatnya, pengecer dari produsen tersebut yang juga memiliki pangsa pasar yang kecil, efisisensinya menjadi berkurang, alokasi pembagian sumber dayanya berkurang sehingga pendapatannya pun berkurang. Lebih jauh, kebijakan ini akhirnya diikuti oleh produsen atau pemasok lainnya dalam pasar tersebut. Dampak terburuknya yaitu persaingan usaha bukan saja akan terhambat antar pelaku usaha ynag memiliki merek yang sama, namun terjadi juga kerugian pada pelaku usaha yang saling bersaing.
b. Minimum Price Restraints on Premium or High-Image Products
Pada produk yang memiliki merek yang sudah terkenal, produsen akan membagi pasarnya melalui berberapa pengecer. Pengecer tersebut juga akan menjual produknya dengan harga yang tinggi dan produsen juga akan mempertahankan untuk mengenakan harga yang tinggi pada produk tersebut. Produsen yang mengenakan RPM pada salah satu produknya dan yang samasekali tidak mengenakannya pada produknya yang lain akan ditanggapi oleh pengecer dengan menggelembungkan harga (mark-up) produk yang pertama tadi. Maksudnya, akan terjadi perbedaan harga yang tinggi pada produk yang terkena kebijakan RPM dengan produk yang tidak.
Dampak dari RPM tersebut di atas akan membuat produsen tetap mempertahankan keuntungan yang dimilikinya. Walaupun merek produk tertentu harganya selalu tinggi, namun hal tersebut tetap akan menjaga kualitas dan kekuatan merek produk tersebut . Misalnya adalah pada perusahaan ban, produsen akan mengenakan RPM pada produk ban yang kualitas paling baik. Sudah dapat diduga, ban dengan kualitas rendah yang tidak dikenakan RPM, akan memiliki harga yang tinggi dan kualitasnya pun akan jauh berbeda dengan ban kualitas rendah.
c. Minimum Advertised Prices (MAP)
MAP terjadi pada produsen yang mengizinkan pengecernya untuk mengiklankan produknya, tetapi dengan persyaratan bahwa pengecer tersebut akan mengiklankan produknya dengan harga iklan minimum seperti yang telah ditetapkan oleh produsen. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membatasi persaingan harga pada sesama pengecer. Kebijakan ini dilakukan untuk membatasi perang iklan pada saat semua pengecer mengenakan potongan harga (discount) pada suatu produk. Di Amerika Serikat, praktik ini disamakan dengan praktik RPM karena mengakibatkan dampak yang serius pada persaingan usaha. Federal Trade Comission (FTC) Amerika Serikat, pada tahun 2000 melarang sedikitnya empat buah industri yang mengeluarkan kebijakan ini kepada pengecernya. Kebijakan ini banyak dikritik, sebab hanya dilarang pada pengusaha yang menguasai pangsa pasar yang kecil .
d. Minimum Price Restraints Imposed at the Distributor Level
Untuk menjelaskan mengenai varian RPM ini, dapat dijelaskan melalui contoh berikut ini. PT ‘M’ adalah perusahaan yang membangun jaringan pemasaran di wilayah X, sehingga ia memiliki distributor di wilayahnya tersebut. Disributor tersebut sepakat hanya untuk memasarkan produknya di wilayah X tersebut. Pada suatu kali, terdapat pengaduan dari distributor itu, bahwa terdapat distributor yang seharusnya hanya memasarkan produknya di wilayah Y, namun mereka memasarkan produk di wilayah X juga. Kebijakan yang sering terjadi adalah PT ‘M’ akan membebankan biaya tambahan kepada distributor wilayah Y itu untuk melindungi distributor X. Akan tetapi, seringkali kebijakan pengenaan biaya tambahan itu menyulitkan. Sebagai gantinya, PT ‘M’ menjatuhkan kebijakan RPM pada distributor Y.
e. Termination of a Discounter in the Absence of Minimum Resale Price Limits
Jenis RPM ini terjadi pada pembeli yang memiliki kekuatan pasar yang lebih tinggi daripada pemasok atau produsennya di tingkat pengecer. Pembeli jenis ini biasanya terdapat dalam sistem distribusi tidak langsung. Dalam praktik, pemasok atau produsen sangat tergantung pada pengecernya. Misalnya Walmart memiliki 22% pangsa pasar (market share) mainan anak di seluruh Amerika Serikat . Kekuatan pasar Walmart lebih besar daripada produsen mainannya, sehingga ia disebut pembeli yang memiliki kekuatan pasar tinggi.
Pembeli yang memiliki kekuatan pasar tinggi dapat mempengaruhi kebijakan pemasok yang dapat menghambat persaingan usaha. Salah satunya adalah mengancam pemasok agar tidak memberikan potongan harga kepada pesaing pembeli tersebut. Jika pemasok masih tetap memberikan potongan harga itu, pembeli tidak akan lagi mau untuk menjual produk pemasok. Sudah dapat diduga, kebijakan ini akan mengakibatkan akibat yang menghambat persaingan usaha bagi pesaingnya di pasar yang bersangkutan. Pesaing usaha tersebut akan tereliminasi dalam pasar tersebut.
Contoh kasus yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut adalah KPPU v. PT Semen Gresik (PT SG) dalam Putusan KPPU Nomor 11/KPPU-I/2005. PT SG dan para distributornya diikat dalam VMS. Menjadi dapat dimengerti, di dalam sistem perdagangan antara PT SG dan distributornya, kemandirian distributor itu berkurang artinya karena PT SG dapat memberikan kebijakan atau strategi bisnis yang mau tidak mau harus diikuti oleh distributor. Para 'distributor' itu juga jika ditelaah lebih lanjut masih memiliki nilai2 kemandirian dalam strategi bisnisnya, sehingga hal yang tidak tepat jika mereka disebut agen atau terikat dalam hubungan hukum keagenan. Sebagaimana kita ketahui bahwa agen adalah pihak yang bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya. Hal tersebut samasekali tidak kita lihat dalam hubungan hukum antara PT SG dan distributornya.Hubungan hukum inilah yang kemudian menimbulkan hubungan hukum yang unik, sebab tidak sepenuhnya distributorship namun distributorship yang diikat oleh VMS.
Sistem hukum Indonesia memang belum terdapat pengaturan mengenai perjanjian distributorship secara komprehensif. Namun di dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 23/MPP/Kep/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa disebutkan pengertian distributor. Dari kedua peraturan ini dapat kita lihat bahwa distributor adalah pihak yang bertindak atas namanya sendiri (tidak terikat [independen]) dan sebagai perantara antara perusahaan manufaktur dan pengecer.
Perjanjian jual beli antara PT SG dengan distributornya memuat persyaratan bahwa para distributor PT SG sebagai pihak yang menerima Semen Gresik berkewajiban untuk menjaga kestabilan harga Semen Gresik. Distributor PT SG dilarang memberikan potongan harga dalam menjual barang kepada pembeli kembalinya (disebut reseller) yang dalam kasus PT SG disebut Langganan Toko . Pelarangan kepada distributor PT SG tersebut oleh PT SG adalah perjanjian RPM. Jika distributor PT SG tidak mau mematuhi klausula tersebut, maka PT SG akan memberikan sanksi yang sangat merugikan distributor.
Walaupun perjanjian jual beli yang dibuat antara PT SG dengan para distributornya tidak memuat adanya kewajiban untuk menetapkan RPM yang eksplisit, tetapi perjanjian tersebut tetaplah dapat dikualifikasikan sebagai RPM. Hal tersebut selaras dengan pendapat Sacker dan Fuller, bahwa perjanjian jual beli tersebut memuat ikatan ekonomis (economic ties). Ikatan ekonomis sendiri tetap termasuk dalam jangkauan pasal 9 UU No. 5/1999 dan dilarang sejauh mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
KPPU membuktikan unsur mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dalam pasal 9 UU No. 5/1999 karena dengan adanya kewajiban bagi distributor untuk menjual Semen Gresik sesuai dengan harga yang telah diperjanjikan mengakibatkan kesempatan para distributor PT SG untuk bersaing dalam menjual Semen Gresik kepada pelaku usaha lain menjadi berkurang. agar dapat bersaing, para distributor PT SG pun selalu mematuhi harga yang telah diperjanjikan.
PT SG juga telah dibuktikan oleh KPPU telah melakukan perjanjian kartel dengan para distributornya . Maka, perjanjian RPM sebenarnya digunakan sebagai sarana untuk mengontrol harga dalam sebuah kartel. Dengan adanya RPM, maka pemimpin kartel dapat lebih mengkoordinasikan harga jual yang lebih rendah tadi dengan pengecer, agar pengecer tidak dengan sepihak menurunkan harganya .
Distributor yang menurunkan harga di luar harga yang telah disepakati bersama antara anggota kartel tentunya dapat diberikan sanksi . Kebijakan RPM dalam kartel akan diikuti oleh anggota kartel lainnya tanpa perlu adanya tekanan dari pelaku usaha lainya. Jika salah seorang produsen menjatuhkan RPM pada pengecernya, maka penjatuhan RPM akan dilakukan secara otomatis oleh produsen lainnya
IV. Penutup
Kesimpulan dari uraian di atas adalah pola VMS menyebabkan terjadinya perjanjian RPM yang dilarang oleh pasal 9 UU No. 5/1999, baik melalui perjanjian yang memuat kewajiban untuk menetapkan RPM secara eksplisit maupun implisit. Kasus pelanggaran pasal 9 UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh PT SG membuktikan hal tersebut. RPM juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan pembentukan kartel seperti yang telah diuraikan di atas. Perjanjian RPM juga digunakan sebagai sarana untuk mengontrol harga dalam sebuah kartel
Daftar Pustaka
Campbell, Dennis and Louis Lafili (ed.). 1990. Distributorships, Agency and Franchising in An International Arena : Europe, The United States, Japan and Latin America. Netherlands : Kluwer Law and Taxation PublishersElips. 2000. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya. Jakarta : ELIPS
Etzel, Michael, M, et al. 2001. Marketing, 12th ed. New York : The McGraw-Hill Companies Inc
Hylton, Keith, N. 2003. Antitrust Law: Economic Theory and Common Law Evolution. United Kingdom: Cambridge University Press
Kotler, Philip and Armstrong, Gary. 1993. Marketing, An Introduction. Toronto: Prentice-Hall Canada Inc
Sullivan, Lawrence, A and Grimes, Warren, S. 2006. The Law of Antitrust: An Integrated Handbook, 2nd ed. Los Angeles: Thomson West