Makna Penghinaan
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Menurut
Mahkamah Konstitusi (MK) : Fakta dan Kritik
A. Pembuka
0. Beberapa kasus (yang dituduhkan) penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik (dalam artikel ini disingkat “Penghinaan”)
yang menarik perhatian masyarakat. Kasus-kasus tersebut ditayangkan oleh
media televisi secara bombastis berusaha memainkan emosi masyarakat.
Sebut saja misalnya kasus Prita Mulyasari yang memicu pengumpulan koin Prita,
sampai pada kasus Florence Sihombing yang menarik Sultan Yogyakarta untuk
bertemu dengannya. Kesemuanya terkena jerat pasal Penghinaan dalam UU
ITE. Tak jarang, sebagai akibat dari kasus-kasus tersebut, masyarakat
beropini negatif terhadap keberadaan UU ITE ini. Pada akhirnya, MK dipilih
sebagai forum untuk menyalurkan aspirasi masyarakat tersebut untuk melakukan constitutional
review.
B. Pengujian UU ITE
1. Salah satu pengujian konstitusi terhadap UU
ITE yang diangkat dalam tulisan ini adalah Putusan MK RI No. 50/PUU-VI/2009
tanggal 4 Mei 2009 dimana permohonan pengujian diajukan oleh wartawan/blogger
(“Pemohon”) yang mengalami kerugian akibat UU ITE karena tulisan yang dimuatnya
dalam blog tersebut dianggap menghina salah satu politisi partai politik.
2. Pemohon
telah melakukan kesempatan kepada politisi tersebut untuk memberikan konfirmasi
atas tulisannya. Juga, yang bersangkutan telah mencoba mengkontak
beberapa koleganya di lingkungan sekitar orang tersebut. Selain itu, hak
jawab dari narasumber pun telah diakomodasi Pemohon dengan memberikan ruang
dalam blog miliknya. Namun, kesemuanya nihil aksi.
C. Apa
Kata MK
3. MK
berpendapat bahwa pasal Penghinaan sebenarnya tidak hanya ditemukan dalam UU
ITE saja, namun ditemukan dalam KUHP, sehingga MK membagi ranah/daya berlaku UU
ITE dan KUHP dimana yang pertama berlaku secara online (dunia siber) dan yang
terakhir berlaku off line. Hal tersebut dikarenakan unsur-unsur pidana atau
rumusan kata dalam KUHP, khususnya pasal 310 ayat (1) KUHP [lihat bagan norma
hukum] tersebut seperti “diketahui umum”, “di muka umum” kurang memadai untuk
mencakup ekspresi dunia maya. Oleh karenanya, perlu rumusan khusus yang
bersifat ektensif dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE (Pertimbangan Hukum MK).
4. Walaupun
pasal 310 KUHP tersebut tidak dapat diterapkan dalam dunia siber, namun,
menurut MK, keberlakuan dan tafsir pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat
dipisahkan dari norma pokok dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP sebagai genus
delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut dan
harus diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam pasal 27 ayat (3) UU
ITE tersebut. Dengan perkataan lain, pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dapat
diterapkan jika penyidik menerima aduan dari masyarakat.
5. Menurut
MK, meskipun setiap orang memiliki hak untuk berkomunikasi, tetapi tidak
menghilangkan hak negara untuk mengatur agar kebebasan untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi tidak melanggar hak-hak orang lain. UU ITE merupakan
produk politik untuk mendidik masyarakat ke arah yang sejalan dengan pasal 31
ayat (3) UUD 1945 yang pada intinya, pendidikan terhadap masyarakat yang
meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
D. Refleksi
6. Tentulah
kita semua sependapat bahwa hak untuk berkomunikasi, hak untuk mendapatkan
komunikasi dan HAM haruslah dibatasi oleh ketentuan hukum sebagaimana diuraikan
dalam pertimbangan hukum MK. Namun, bagaimana caranya ? Apakah keluhuran makna
hak untuk berkomunikasi dan HAM yang diuraikan panjang lebar dalam pertimbangan
hukum MK tersebut dapat tertampung hanya dengan rumusan pasal penghinaan dalam
UU ITE tersebut ?
7.
 |
http://www.democraticaudit.com/wp-content/uploads/2014/01/free-speech.jpg |
Rumusan pasal tersebut sama sekali tidak
jelas dan dapat memberikan tafsir liar dalam kasus yang diajukan di muka
hakim. Padahal, asas hukum pidana yaitu lex certa, mengamanatkan bahwa
rumusan tindak pidana haruslah jelas. Kalau tidak, dikhawatirkan akan
dipakai secara melawan hukum oleh penegak hukum itu sendiri. Apakah
rumusan pasal penghinaan tersebut telah memenuhi asas tersebut ?
8. Jikalau dilihat dalam argumentasi Pemohon, tampaknya Pemohon
tidak mengelaborasi asas-asas fundamental dalam hukum pidana tersebut.
Pemohon lebih banyak menyandarkan pada argumentasi HAM dan hak privat.
Namun, Pemohon memohon agar putusan MK dijatuhkan dengan seadil-adilnya (ex
aquo ex bono), sehinga tidak beralasan MK harusnya dapat mempertimbangkan asas
fundamental hukum pidana, khususnya asas lex certa. Sehingga, akan
menjadi sejalan dengan pendapat MK bahwa pasal 310 dan pasal 311 KUHP adalah genus
delict dari pasal penghinaan dalam UU ITE tersebut.
9. Pemohon terhadap pasal ini adalah wartawan yang menjadi korban
atas tulisannya sendiri dalam blog, namun seharusnya selaku pemegang profesi
wartawan, Pemohon memiliki akses untuk melakukan check and recheck atas tulisan
yang dibuatnya, misalnya, melakukan kontak untuk konfirmasi menyangkut berita
mengenai politisi sebagai subyek dalam tulisannya. Konfirmasi-konfirmasi
tersebut telah dilakukannya jika dibaca dalam permohonan uji review
tersebut. Sayangnya, Pemohon malah tidak menggunakan fakta tersebut untuk
menguatkan dalilnya. Malah menurutnya akan terlalu naif jika harus
melakukan konfirmasi atas setiap tulisan yang dibuat.
10. Proses untuk melakukan upaya konfirmasi terhadap subyek hukum
dalam tulisannya tersebut, seharusnya diungkapkan dan dibuktikan telah
dilakukan. Jikalau berhasil dibuktikan, khusus menyangkut profesi
wartawan, apabila dalam tulisannya tersebut telah sesuai dengan standar kode
etik profesi maupun peraturan perundang-undangan yang menyangkut profesi
wartawan, maka seharusnya pasal ITE tersebut dapat diterapkan hanya jika wartawan
telah lalai memenuhi prosedur jurnalistik yang sebelumnya harus
dijalankan.
11. Jika terdapat pengaturan
rinci mengenai butir 11 di atas menyangkut tata cara, kondisi dan prasyarat
tertentu yang harus terlebih dahulu ditempuh agar terhindar dari cakupan pasal
Penghinaan UU ITE, maka rumusan pasal ITE tersebut menjadi lebih dapat
menyeimbangkan kebutuhan warga Negara untuk mengungkapkan informasi dengan
perlindungan hukum terhadap subyek berita. Jikalau MK tidak berperan
dalam menyeimbangkan aturan yang terlalu eksensif tersebut (dibuktikan dengan
pernyataannya sendiri dalam pertimbangan hukum MK bahwa dibutuhkan pengaturan
yang ekstensif dalam mengatur penghinaan di dunia maya), maka dikhawatirkan
tafsir rumusan pasal ITE menjadi alat pembenar bagi kepentingan pribadi penegak
hukum, bukan alat pembenar penegakkan konstitusi kita.
12. Terakhir,
saya terganggu dengan pertimbangan MK dimana pasal ini dimaksudkan sebagai alat
pendidikan untuk meningkatkan iman dan takwa warga negaranya. Apa ukuran
argumen abstrak tersebut ? Apakah perlu, negara masuk untuk mengatur iman dan
takwa ? Lebih lanjut, tindakan Pemohon secara tersirat dimaknai sebagai
tindakan orang yang tidak beriman dan bertakwa. Apakah pantas MK memberikan
label bahwa UU ITE ini sebagai “stick” atau punishment jika iman dan takwa
warga negara kita rusak ? Sungguh naif.