Mengenal Konsep Vexatious Litigation dalam Common Law : Bagaimanakah Penerapannya di Indonesia ?
Jika seseorang merasa bahwa haknya telah dilanggar oleh pihak lain, namun pihak yang "dirasa melanggar hak orang lain tersebut tidak dengan sukarela memenuhi permintaannya, maka gugatan ke pengadilan merupakan jalan akhir dari persengketaan mereka. Permasalahan hukum yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa dikenal melalui gugatan yang merupakan sengketa diantara para pihak, bukan sepihak (ex-parte). Proses yang akan dilalui oleh para pihak merupakan proses yang akan diisi dengan sanggah-menyanggah dengan mendalilkan pada argumentasi hukum diantara mereka. Prof. Sudikno dan Prof. Subekti sendiri mempergunakan istilah tuntutan perdata untuk menyebut istilah gugatan, yaitu hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain.
Di dalam proses gugatan melalui jalur pengadilan, ‘tembok besar’ yang
harus dilalui oleh para pihak terutama menyangkut lamanya proses di pengadilan,
besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan citra badan usaha yang dapat menurun,
terutama jika badan usaha tersebut merupakan perusahaan terbuka yang tentu saja
akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan publik. Juga jangan lupa
permasalahan kekakuan prosedur dan rumitnya persyaratan administratif yang
menghantui jalannya persidangan.
Memang menyoal urusan penyelesaian waktu persidangan, berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1992, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
(demikian juga lingkungan badan peradilan lainnya) diwajibkan menyelesaikan
setiap perkara paling lama 6 (enam) bulan. Bagi yang tidak menyelesaikan suatu
perkara dalam batas waktu tersebut, diwajibkan melaporkan kepada Ketua Mahkamah
Agung disertai alasan-alasannya. Namun pada praktiknya, aturan ini sering
dengan mudahnya diterabas tanpa menyebabkan kebatalan produk putusan hakim yang
dikeluarkan.
Selain hambatan-hambatan proses beracara persidangan di atas, para pihak
yang merasa haknya dilanggar seringkali mengajukan gugatan dengan itikad buruk.
Dengan perkataan lain, gugatan yang diajukan tanpa dasar pertimbangan hukum
yang memadai. Tujuannya, untuk menghancurkan reputasi suatu perusahaan di dunia
bisnis atau dapat saja gugatan diajukan dengan maksud untuk menunda suatu
perbuatan hukum yang seharusnya diemban oleh pihak Penggugat. Sistem Common Law
membasmi gugatan yang demikian dengan rezim ‘vexatious litigation’ atau
vexatious proceedings.
Mendalami Pengertian Vexatious Litigation (“VL”)
Untuk mengawali penjelasan singkat mengenai ‘binatang’ jenis apa VL itu,
berikut ini akan disampaikan beberapa pengertian dari VL di dalam berbagai
literatur hukum :
Definisi “vexatious proceeding” dalam Black’s Law Dictionary (Edis
Ketujuh, Tahun 1999, Bryan a. Garner, diterbitkan oleh West Group, St. Paul,
Minn., Tahun 1999), juga memberikan definisi dari “vezatious proceeding” yang
sama dengan “vexatious suit”, yaitu:
“Lawsuit instituted maliciously and without good cause”
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
“Suatu gugatan yang dilakukan penuh kecurangan dan tanpa adanya kausa
yang benar”
Lebih lanjut, di dalam Gilbert’s Law Summaries (Pocket Size, diterbitkan
oleh Harcourt Bracel Legal and Professional Publications, Inc., Tahun 1997,
halaman 1997) terdapat definisi “vexatious litigation” adalah:
“Proceeding instituted which is not bona fide, but which is instituted
without probable cause, maliciously, or intended to harass the opponent.”
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
“Suatu proses pemeriksaan pengadilan yang diadakan secara tidak benar,
yang mana diadakan tidak berdasarkan suatu alasan yang memungkinkan, mengandung
kecurangan, atau dilakukan untuk mengganggu lawan (tergugat)”;
Selanjutnya sebagai perbandingan hukum, pemasalahan “vexatious
proceedings” dapat ditemukan dalam berbagai yurisprudensi putusan pengadilan di
negara-negara Common Law, seperti di Hong Kong, tepatnya putusan High Court
Hong Kong (Action No. 3360 of 1994) dalam perkara Choi Sai-Yu and others v.
Widepower Ltd and others, yang mana dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
bahwa salah satu bentuk “vexatious proceedings” adalah:
“... pure vexation occurs when proceedings are utterly absurd that they
cannot possibly succeed.”
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
“... (gugatan) yang murni untuk mengganggu, timbul ketika adanya gugatan
gugatan yang semata-mata mengandung kecurangan yang mana gugatan-gugatan tersebut
tidak akan mungkin dikabulkan (karena tidak memenuhi syarat).”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa VL
mengandung pengertian :
- Gugatan tanpa adanya kausa yang benar
- Gugatan tidak berdasarkan suatu alasan yang
memungkinkan, mengandung kecurangan, atau dilakukan untuk mengganggu lawan
(tergugat)
- Gugatan tidak akan mungkin dikabulkan
Negara bersistem Common Law menerapkan pengaturan yang tegas mengenai
gugatan yang ‘unreasonable’ tersebut. Salah satunya yang dapat disebutkan di
dalam tulisan ini adalah negara bagian Australia Barat yang menerbitkan
Vexatious Proceedings Restriction Act 1930. Di dalam undang-undang tersebut
terdapat kewenangan dari Jaksa Agung (Attorney General) untuk menerima
permohonan dari masyarakat dari praktik gugatan yang curang tersebut (VL).
Permohonan tersebut selanjutnya akan disampaikan pada Mahkamah Agung Australia.
Jika MA mengabulkan, barulah keluar ijin untuk tidak memproses secara hukum
gugatan curang tersebut. Pemeriksaan MA bersifat pemeriksaan singkat terhadap
permohonan tersebut.
Masyarakat yang kesadaran hukumnya jauh lebih tinggi akan sangat
terbiasa memperjuangkan hak yang dimilikinya melalui pengadilan.
Konsekuensinya, gugatan curang dapat dengan mudahnya diajukan ke pengadilan.
Pengadilan sendiri memiki penangkal terhadap serbuan gugatan yang tidak
berdasar hukum tersebut. Di sinilah Rezim VL dipakai sebagai filter untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
Bagaimana praktiknya di Indonesia ?
Di Indonesia sendiri, Pengadilan dalam kasus perdata tidak pernah
mengakui rezim hukum ini untuk diadopsi untuk menyelesaikan permasalahan hukum
yang timbul. Doktrin ini misalnya pernah disampaikan di dalam kasus PT Indah
Kiat v. PT Bank Mizuho Indonesia, et.al dalam Putusan Kasasi MA No. 1713
K/Pdt/2007.
 |
http://greenjournalist.net/wp-content/uploads/2013/12/persidangan-kalista.jpg |
Argumen mengenai pentingnya hakim mempertimbangkan VL, muncul dari dari
seorang Tergugat dalam perkara tersebut di atas yang mempermasalahkan dengan
ditariknya Tergugat lain dalam perkara a quo. Hal ini menurutnya, semata-mata
merupakan suatu bentuk manipulasi yang dilakukan oleh Penggugat. Sebagaimana
kita ketahui, Pasal 118 (2) HIR mensyaratkan bahwa suatu gugatan dapat diajukan
di tempat tinggal salah satu Tergugat. Dengan demikian, menurut dalil salah
seorang Tergugat, dengan ditariknya Tergugat tersebut yang berkedudukan di
Bengkalis di muka persidangan, akan memuluskan langkah Penggugat untuk
mengajukan perkara di di Pengadilan Negeri Bengkalis.
Di dalam putusannya, Majelis hakim perkara a quo tidak mempertimbangkan
dalil VL di atas. Di dalam praktik hukum perdata sendiri, tidak tertutup
kemungkinan gugatan curang diajukan. Akan tetapi dalam kenyataannya, pengadilan
belum mengakomodir rezim VL di dalam sistem hukum kita.
Eksepsi (Tangkisan) Hukum Acara Perdata : Bisakah Mengatasi Kebuntuan ?
Dengan tidak dikenalnya VL di dalam sistem hukum kita, bukan berarti
tidak ada padanannya sama sekali. Rezim eksepsi di dalam Hukum Acara Perdata
tampaknya dapat diandalkan. Walaupun jelas terdapat perbedaan mencolok dengan
VL, namun eksepsi di dalam Hukum Acara Perdata dapat digunakan mutatis mutandis
untuk menangkal praktik VL. Salah satunya dengan eksepsi yang dikenal dengan
eksepsi gugatan kabur (obscuur libel).
Salah satu bentuk dari eksepsi gugatan kabur adalah tidak jelasnya dasar
hukum dalil gugatan. Posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dasar
hukum dan fakta yang mendasari gugatan. Sehingga, gugatan yang tidak berdasar
atas fakta (feitelijke grond) dan tidak berdasar hukum dianggap oleh pengadilan
tidak jelas dan tidak tertentu (Lihat Putusan MA No. 250 K/Pdt/1984 yang
menyatakan hal tersebut di dalam pertimbangan hukumnya).
Akibat dari eksepsi yang dikabulkan oleh pengadilan menyebabkan gugatan
penggugat tidak dapat diterima. Gugatan dinyatakan cacat secara formil. Oleh
karenanya, penggugat dapat memperbaiki gugatannya dan mendaftarkan kembali
gugatannya, jika memang dianggap perlu. Eksepsi yang dikabulkan oleh pengadilan
tersebut belumlah menyentuh pokok perkara yang disengkatakan. Artinya, hakim
belum memeriksa pokok perkara.
Kelemahan ekspesi obscuur libel ini adalah walaupun hakim tidak akan
memeriksa pokok perkara, namun proses pemeriksaan di persidangan setelah
eksepsi ini disampaikan Tergugat tetap saja masih berlangsung. Proses jawab
menjawab tetap berjalan. Begitu pula dengan proses pembuktiannya yang tidak
terhenti. Dengan perkataan lain, pemeriksaan hakim terhadap diterima atau
ditolaknya eksepsi ini akan dipertimbangkan di putusan akhirnya. Hal ini memang
sesuai dengan pasal 136 HIR, yaitu :
Eksepsi (tangkisan) yang dikemukakan oleh si tergugat, kecuali tentang
hal hakim tidak berwenang, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang
sendiri-sendiri, melainkan harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan
pokok perkara
Sehingga, inilah ganjalan terbesar jika eksepsi obscuur libel disamakan
dengan VL. Sebab, proses VL dilakukan sebelum mengadakan pemeriksaan pokok
perkara. Berbeda dengan eksepsi obscuur libel, dimana hakim tetap akan
melanjutkan persidangan sampai dengan acara pembuktian. Jika memang dapat
dibuktikan gugatan Penggugat mengada-ngada, tentu hakim akan mengabulkan
eksepsi Tergugugat. Akan tetapi, proses jawab menjawab dan proses pembuktian
akan sangat sia-sia, sebab pada akhirnya sama sekali tidak dipertimbangkan di
dalam putusan hakim.
Dampak buruk VL terhadap pihak Tergugat mungkin sekali tidak terelakkan.
Tergugat harus tetap mengikuti proses persidangan yang melelahkan. Belum lagi
menyangkut citra dan kepercayaan masyakarat yang merosot akibat proses
persidangan ini.
Dengan demikian, landasan hukum mengenai eksepsi di luar eksepsi
mengenai kompetensi, yaitu HIR perlu mendapatkan perbaikan. Terutama mengingat
perkembangan kegiatan ekonomi dewasa ini yang menuntut efektivitas dan
efisiensi pada segala bidang, termasuk kegiatan beracara di pengadilan. Inilah
saatnya meningkatkan pamor beracara lewat pengadilan perdata yang sederhana,
cepat dan berbiaya murah.
Bahan tulisan :
• Australian Reform Commission.1995.Cost Shifting, Who
Pays for Litigation? Report No. 75
• Gilbert’s Law summaries (Pocket Size, diterbitkan oleh
Harcourt Bracel Legal and Professional Publications, Inc., Tahun 1997, halaman
1997
• Black’s Law Dictionary (Edis Ketujuh, Tahun 1999, Bryan
a. Garner, diterbitkan oleh West Group, St. Paul, Minn., Tahun 1999
• Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene
Indonesisch Reglement)
• ________.1973.Justice, Litigants in Person. London :
Stevens and Sons.
• Sudikno Mertokusumo.1988.Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta : Liberty
• Retnowulan Sutantio, et.al.2000. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung : CV. Mandar Maju
• Yahya Harahap.2001.Hukum Acara Perdata. Jakarta : SInar
Grafika
• Vexatious Proceedings Restriction Act 1930
• Putusan No. 361/PHI.BTH/2009/PN.JKT.PST
• Putusan MA No. 250 K/Pdt/1984
• Putusan Kasasi MA No. 1713 K/Pdt/2007.
• Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Th. 1992,
• KUH Perdata